Judul lagu ini mengingatkan gaya hidap anak muda di Medan masa itu. Saking tergila-gila film koboi, mereka jadi latah menyapa ,”halo”. Lalu apa sumbangan orang Ambon dalam karya rame-rame ini?
BANYAK hal yang masih berselimut kabut dalam rangkaian peristiwa Bandung Lautan Api, 61 tahun silam. Tak hanya tentang sosok Mohammad Toha, tetapi juga tentang siapa pencipta lagu “Halo-Halo Bandung”. Sejauh ini, khalayak mengenal lagu perjuangan tersebut ciptaan Ismail Marzuki. Akan tetapi, banyak orang yang meragukannya. Pasalnya, komponis kelahiran Kwitang, Jakarta Pusat, 11 Mei 1914 itu berkecenderungan mencipta lagu-lagu berirama lambat nan romantis. Sementara, “Halo-Halo Bandung” termasuk genre lagu mars yang berirama cepat dan heroik.
Simak saja, misalnya, sejumlah lagu karya Ismail Marzuki, seperti “Rayuan Pulau Kelapa”, “Sabda Alam”, “Indonesia Pusaka”, “Juwita Malam”, “Selendang Sutera”, “Sepasang Mata Bola”, “Melati di Tapal Batas”, “Bandung Selatan di Waktu Malam”, “Aryati”, dan “Jangan Ditanya ke Mana Aku Pergi”.
Komponis senior Indonesia, Abdullah Totong (AT) Mahmud, membenarkan adanya polemik tersebut. Hanya, dirinya tak berani menghakimi mana pihak yang benar dan mana yang salah. “Informasi yang saya dengar, lagu tersebut, seharusnya, NN (no name; pencipta tak diketahui-red.). Saya sendiri tak tahu bagaimana kemudian lagu itu jadi ciptaan Ismail Marzuki,” ungkapnya, ketika dihubungi, Kamis (22/3) petang.
Polemik ihwal siapa pencipta “Halo-Halo Bandung” itu sebenarnya sudah lama terjadi. Di dalam buku Saya Pilih Mengungsi: Pengorbanan Rakyat Bandung untuk Kedaulatan disebutkan, polemik itu mulai terjadi pada 1995.
Pestaraja Humala Sadungan Marpaung –akrab disapa Bang Maung–, seorang pejuang yang sempat bergabung ke dalam Pasukan Istimewa (PI), di dalam buku itu, menyebutkan bahwa lagu tersebut bukan ciptaan perseorangan. “Halo-Halo Bandung” merupakan ciptaan bersama para pejuang Bandung.
Sandiah Soerjono alias Ibu Kasur punya kisah soal ini. Suatu ketika, suaminya, Soerjono (Pak Kasur-red.) memberinya dua lagu baru, “Halo-Halo Bandung” dan “Gempur dan Rebut Bandung Kembali”. “‘ Halo-Halo Bandung’ memang bagus lagunya tuh. Kan bapak bilangnya begini, ’Pak, ini siapa yang bikin?’ tanya saya. ‘Ah, bocah-bocahe dewe.’ ‘Bocah Batak,’ katanya. Kalau tidak salah namanya Tobing…,” katanya.
Adjie Esa Poetra, pengamat musik, berpendapat berbeda. Menurut dia, kecenderungan seorang musisi tak bisa digeneralisasi. “Suatu ketika, bisa jadi seorang musisi mencipta lagu yang begitu lembut menyayat. Akan tetapi, di saat yang lain, bisa juga ia mencipta lagu yang garang dan penuh semangat. Ismail Marzuki, mungkin juga demikian,” ungkapnya.
Singkatnya, kata Adjie, proses mencipta seorang musisi tergantung suasana hati. Ia mencontohkan sosok Harry Roesli yang dikenal bengal. “Akan tetapi, suatu saat, ia mencipta sebuah lagu yang begitu menyayat, seperti ‘Jangan Menangis Indonesia’. Begitulah kira-kira,” katanya.
Melalui karya-karyanya, Adjie “mengenal” Ismail Marzuki sebagai sosok yang dinamis. “Saya kira, ‘Halo-Halo Bandung’, bisa jadi benar ciptaan Ismail Marzuki. Pada lagu itu, meski bergenre mars, saya menangkap ada sisi romantisme yang merupakan ciri khasnya. Lagi pula, Ismail Marzuki orang jujur. Rasanya, tidak mungkin dia mengakui sesuatu yang sebetulnya bukan karyanya,” ujar Adjie .
**
MENURUT Bang Maung, di dalam buku Saya Pilih Mengungsi: Pengorbanan Rakyat Bandung untuk Kedaulatan”, proses penciptaan “Halo-Halo Bandung” dilatarbelakangi oleh perjuangan pemuda Bandung, tanpa melihat asal-usul suku bangsa. Hal itu tercermin dengan kata “Halo!” yang merupakan sapaan khas pemuda Medan, akibat pengaruh film-film koboi Amerika yang sering diputar, saat itu.
Ceritanya, pada suatu malam, di Ciparay, diselenggarakan perayaan Batak. Di sana, disediakan pula sebuah panggung dan memberikan kesempatan kepada pengunjung yang ingin menyumbangkan lagu. Seorang pemuda Batak bernama Bona L. Tobing, tiba-tiba menyapa, “Halo!” kepada Kota Bandung di kejauhan, “Halo Bandung!”. Kemudian sapaan itu memiliki irama, “Halo-Halo Bandung” seperti irama yang dikenal saat ini. “Akan tetapi, irama itu tidak selesai karena malam sudah larut,” tutur Bang Maung.
Sebagai pejuang, Bang Maung pun turut menyusup ke Kota Bandung, setiap malam, setelah peristiwa Bandung Lautan Api. “Siang hari tidak ada kerja. Jadi di Ciparay ini, anak-anak Bandung dari Pasukan Istimewa tiduran. ‘Eh, lagu yang kemarin itu mana? Halo! Halo Bandung! de-de-de— (berirama menurun).’ Setelah lama, orang Ambon juga ikut. Pemuda Indonesia Maluku itu, di antaranya Leo Lopulisa, Oom Teno, Pelupessy. Sesudah Halo-Halo Bandung, datang orang Ambonnya. … Sudah lama beta! tidak bertemu dengan kau!’ Karena itu, ada ‘beta’ di situ. Bagaimana kata itu bisa masuk kalau tidak ada dia di situ. Si Pelupessy-lah itu, si Oom Tenolah itu, saya enggak tahu. Tapi, sambil nyanyi bikin syair. Itulah para pejuang yang menciptakannya. Tidak ada itu yang menciptakan. Kita sama-sama saja main-main begini. Jadi, kalau dikatakan siapa pencipta (Halo-Halo) Bandung? Para pejuang Bandung Selatan,” ucapnya.
Sumber: Pikiran Rakyat, Jumat, 23 Maret 2007.